BAGI
seorang Muslim, iman adalah segalanya. Iman adalah aset paling berharga
dan menjadi kriteria pertama diterima atau tidaknya amal di hadapan
Allah. Akan tetapi, sebagaimana lazimnya setiap aset berharga di dunia
ini, ia selalu terancam bahaya. Banyak pihak yang mengintai dan ingin
mencurinya. Maka, tidak sedikit orang yang imannya lenyap, lalu mati
dalam keadaan tidak memilikinya lagi. Tentu kita tidak ingin
mengalaminya. Tetapi, bagaimana menjaga iman supaya tidak hilang?
Dalam Al-Qur’an, ketiadaan iman disebut juga dengan ketersesatan (dholal). Dan, pada dasarnya tidak ada manusia yang disesatkan oleh Allah, kecuali orang-orang yang fasiq. Dengan kata lain, bila manusia telah menjadi fasiq, ia pasti akan tersesat. Allah berfirman;
مَاذَا أَرَادَ اللَّهُ بِهَـذَا مَثَلاً يُضِلُّ بِهِ كَثِيراً وَيَهْدِي بِهِ كَثِيراً وَمَا يُضِلُّ بِهِ إِلاَّ الْفَاسِقِينَ
الَّذِينَ يَنقُضُونَ عَهْدَ اللَّهِ مِن بَعْدِ مِيثَاقِهِ وَيَقْطَعُونَ مَا أَمَرَ اللَّهُ بِهِ أَن يُوصَلَ وَيُفْسِدُونَ فِي الأَرْضِ أُولَـئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ
Dalam Al-Qur’an, ketiadaan iman disebut juga dengan ketersesatan (dholal). Dan, pada dasarnya tidak ada manusia yang disesatkan oleh Allah, kecuali orang-orang yang fasiq. Dengan kata lain, bila manusia telah menjadi fasiq, ia pasti akan tersesat. Allah berfirman;
مَاذَا أَرَادَ اللَّهُ بِهَـذَا مَثَلاً يُضِلُّ بِهِ كَثِيراً وَيَهْدِي بِهِ كَثِيراً وَمَا يُضِلُّ بِهِ إِلاَّ الْفَاسِقِينَ
الَّذِينَ يَنقُضُونَ عَهْدَ اللَّهِ مِن بَعْدِ مِيثَاقِهِ وَيَقْطَعُونَ مَا أَمَرَ اللَّهُ بِهِ أَن يُوصَلَ وَيُفْسِدُونَ فِي الأَرْضِ أُولَـئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ
“…dan,
tidak ada yang disesatkan dengannya kecuali orang-orang yang fasiq.
(Yaitu) orang-orang yang melanggar perjanjian Allah sesudah perjanjian
itu teguh, memutuskan apa yang diperintahkan Allah (kepada mereka) untuk
menghubungkannya, dan membuat kerusakan di muka bumi. Mereka itulah
orang-orang yang merugi.” (Qs. al-Baqarah: 26-27).
Menurut Imam Ibnu Jarir ath-Thabari, ayat diatas menunjukkan bahwa tidak ada yang disesatkan kecuali orang-orang yang meninggalkan ketaatan kepada Allah, tidak mau menuruti perintah maupun larangan-Nya, dan melanggar perjanjian yang telah Allah buat dengan mereka. Dalam Tafsir Zadul Masir dinyatakan, bahwa diantara sifat orang fasiq adalah menyalahi isi Al-Qur’an, memutuskan hubungan silaturrahim, dan melakukan kemaksiatan-kemaksiatan.
Jelas bahwa kefasikan adalah kondisi ketika seseorang menelantarkan imannya, memperturutkan hawa nafsu, dan tidak memperdulikan hukum-hukum Allah. Ketika itulah imannya menjadi rapuh, lalu syetan merampasnya.
Menurut Imam Ibnu Jarir ath-Thabari, ayat diatas menunjukkan bahwa tidak ada yang disesatkan kecuali orang-orang yang meninggalkan ketaatan kepada Allah, tidak mau menuruti perintah maupun larangan-Nya, dan melanggar perjanjian yang telah Allah buat dengan mereka. Dalam Tafsir Zadul Masir dinyatakan, bahwa diantara sifat orang fasiq adalah menyalahi isi Al-Qur’an, memutuskan hubungan silaturrahim, dan melakukan kemaksiatan-kemaksiatan.
Jelas bahwa kefasikan adalah kondisi ketika seseorang menelantarkan imannya, memperturutkan hawa nafsu, dan tidak memperdulikan hukum-hukum Allah. Ketika itulah imannya menjadi rapuh, lalu syetan merampasnya.
Maka,
dalam al-Fiqh al-Akbar, Imam Abu Hanifah berkata, “Tidak boleh kita
katakan bahwa syetan merampas iman dari hati seorang hamba yang mukmin
secara paksa dan sewenang-wenang. Namun, kita katakan bahwa seorang
hamba itu meninggalkan imannya sehingga pada saat itulah syetan
merampasnya.”
Dalam kitab Ihya’ ‘Ulumiddin, Imam al-Ghazali menunjukkan bahwa keimanan sangat mudah goyah pada awal mula pertumbuhannya, apalagi di kalangan anak kecil dan kaum awam. Oleh karenanya, iman harus selalu diperkokoh. Selanjutnya beliau berkata,
“Jalan untuk menguatkan dan meneguhkan iman bukanlah dengan mempelajari kemahiran berdebat dan teologi (ilmu kalam), akan tetapi dengan (1) menyibukkan diri membaca al-Qur'an berikut tafsirnya, (2) membaca hadits disertai maknanya, dan (3) menyibukkan diri dengan menunaikan berbagai tugas ibadah. Dengan demikian kepercayaannya senantiasa bertambah kokoh oleh dalil dan hujjah al-Qur'an yang mengetuk pendengarannya, juga oleh dukungan hadits-hadits beserta faidahnya yang ia temukan, kemudian oleh pendar cahaya ibadah dan tugas-tugasnya. Hal itu juga diiringi dengan (4) menyaksikan kehidupan orang-orang shalih, bergaul dengan mereka, memperhatikan tindak-tanduk mereka, mendengar petuah-petuah mereka, juga melihat perilaku mereka dalam ketundukannya kepada Allah, rasa takut mereka kepada-Nya, serta kemantapan mereka kepada-Nya.”
Dalam kitab Ihya’ ‘Ulumiddin, Imam al-Ghazali menunjukkan bahwa keimanan sangat mudah goyah pada awal mula pertumbuhannya, apalagi di kalangan anak kecil dan kaum awam. Oleh karenanya, iman harus selalu diperkokoh. Selanjutnya beliau berkata,
“Jalan untuk menguatkan dan meneguhkan iman bukanlah dengan mempelajari kemahiran berdebat dan teologi (ilmu kalam), akan tetapi dengan (1) menyibukkan diri membaca al-Qur'an berikut tafsirnya, (2) membaca hadits disertai maknanya, dan (3) menyibukkan diri dengan menunaikan berbagai tugas ibadah. Dengan demikian kepercayaannya senantiasa bertambah kokoh oleh dalil dan hujjah al-Qur'an yang mengetuk pendengarannya, juga oleh dukungan hadits-hadits beserta faidahnya yang ia temukan, kemudian oleh pendar cahaya ibadah dan tugas-tugasnya. Hal itu juga diiringi dengan (4) menyaksikan kehidupan orang-orang shalih, bergaul dengan mereka, memperhatikan tindak-tanduk mereka, mendengar petuah-petuah mereka, juga melihat perilaku mereka dalam ketundukannya kepada Allah, rasa takut mereka kepada-Nya, serta kemantapan mereka kepada-Nya.”
Imam
al-Ghazali kemudian mengibaratkan awal mula keimanan dengan menabur
benih, sementara seluruh amal tersebut diatas merupakan upaya menyiram
dan merawatnya, sehingga akhirnya ia tumbuh berkembang, menjadi kuat dan
meninggi sebagai pohon yang baik dan kokoh, akarnya teguh sedangkan
cabang-cabangnya menjulang ke angkasa. Kelak, buahnya pasti lebat dan
menguntungkan, dengan seizin Allah.
Pernyataan
di atas dapat kita pahami pula dari sisi sebaliknya. Bahwa, ketika
seseorang mulai menjauh dari Al-Qur’an, tidak mengenal hadits Nabi,
kocar-kacir ibadahnya, dan memiliki lingkungan maupun teman bergaul yang
rusak, berarti ia tengah menelantarkan imannya. Maka sangat boleh jadi,
seperti kata Imam Abu Hanifah, syetan pun akan merampasnya. Na’udzu
billah!
Bila seseorang menjauhi Al-Qur’an dan hadits, maka akar-akar iman di hatinya pun mulai goyah. Rasulullah bersabda, “Sungguh
telah aku tinggalkan di tengah-tengah kalian – selama kalian selalu
berpegang teguh kepadanya – maka kalian tidak akan tersesat, yaitu
Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya.” (Riwayat al-Hakim, dari Ibnu ‘Abbas. Hadits shahih).
Bila
tugas-tugas ibadahnya berantakan dan ia lalaikan, maka Allah pun akan
mengacaukan hati dan kehidupannya, hingga terasa sempit dan
menggelisahkan. Allah berfirman, “Barangsiapa berpaling dari
peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan
Kami akan menghimpunkannya pada Hari Kiamat dalam keadaan buta.” (Qs.
Thaha: 124).
Bila
hanya ada orang-orang jahat di sekitarnya, maka masing-masing cuma
perduli pada urusan perut dan syahwat, lalu satu sama lain akan
menghalangi dari akhirat. Dikisahkan oleh al-Hafizh Ibnu Abi ad-Dunya
dalam kitab al-Ikhwan, bahwa 'Atha' al-Khurasani pernah bertanya kepada
Muhammad bin Wasi’, "Amal apakah yang paling utama di dunia ini?"
Dijawab, "Menemani teman dan bercakap-cakap dengan saudara, apabila
mereka saling bersahabat diatas kebajikan dan taqwa." Beliau
melanjutkan, "Ketika itulah Allah akan menghadirkan kemanisan diantara
mereka, sehingga mereka terhubung dan saling menyambungkan hubungan.
Tiada kebaikan dalam menemani teman dan bercakap-cakap dengan saudara
jika mereka menjadi budak dari perutnya masing-masing, sebab jika mereka
seperti ini maka satu sama lain akan saling menghalangi dari akhirat.”
Oleh karenanya, Allah mengajari kita sebuah doa, agar iman dan hidayah senantiasa tertanam di hati dan tidak dilenyapkan-Nya.
رَبَّنَا لاَ تُزِغْ قُلُوبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا وَهَبْ لَنَا مِن لَّدُنكَ رَحْمَةً إِنَّكَ أَنتَ الْوَهَّابُ
Oleh karenanya, Allah mengajari kita sebuah doa, agar iman dan hidayah senantiasa tertanam di hati dan tidak dilenyapkan-Nya.
رَبَّنَا لاَ تُزِغْ قُلُوبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا وَهَبْ لَنَا مِن لَّدُنكَ رَحْمَةً إِنَّكَ أَنتَ الْوَهَّابُ
“Wahai
Tuhan kami, janganlah Engkau menjadikan hati kami condong kepada
kesesatan sesudah Engkau memberi petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah
kepada kami rahmat dari sisi-Mu; Sesungguhnya Engkau Maha Pemberi
(karunia).” (Qs. Ali ‘Imran: 8). Wallahu a’lam.*/M. Alimin Mukhtar, Pernah dipublikasikan Lembar Tausiyah
0 komentar:
Posting Komentar