GM, Halaqoh Online, Tafsir 5:40 PM
Dan
Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia
dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya.
Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur
lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu
mengatakan kepada keduanya perkataan "uff" dan janganlah kamu membentak
mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia (TQS al-Isra’ [17]: 23).
Tidak
ada anak tanpa orang tua. Dari orang tuanyalah, seorang anak bisa
lahir. Atas asuhan dan didikan orang tuanya pula, seorang anak bisa
tumbuh dan berkembang, baik dari segi fisik maupun kepribadiannya.
Wajarlah jika anak diwajibkan berbakti dan berbuat baik kepada kedua
orang tuanya. Ayat di atas adalah di antara ayat yang memerintahkan kaum
Muslim memiliki sikap tersebut.
Berbuat Ihsan
Allah
SWT berfirman: Wa qadhâ Rabbuka (dan Tuhanmu telah memerintahkan).
Menurut Ibnu ‘Abbas, al-Hasan, dan Qatadah --sebagaimana dikutip Abu
Hayyan al-Andalusi dalam Tafsîr al-Bahr al-Muhîth--, kata qadhâ berarti
amara (memerintahkan). Imam al-Qurthubi juga memaknainya dengan amara
wa alzama wa awjaba (memerintahkan, mengharuskan, dan mewajibkan).
Bahkan al-Syaukani memaknainya sebagai amara amr[an] jazm[an] wa
hukm[an] qath[an] hatma[an] mubrim[an] (memerintahkan dengan perintah
yang pasti, hukum yang qath’i, dan keputusan yang pasti).
Perkara
yang diperintahkan dalam ayat ini adalah: allâ ta’budû illâ iyyâhu
(supaya kamu jangan menyembah selain Dia). Bahwa manusia hanya boleh
menyembah dan beribadah kepada Allah SWT. Tidak boleh sama sekali
menyembah selain-Nya dan menyekutukan-Nya dengan yang lain (lihat QS
al-Nisa’ [4]: 36). Berkenaan dengan ayat ini, Sihabuddin al-Alusi
berkata, “Dan Allah SWT memerintahkan agar tidak menyembah selain-Nya
karena ‘ibadah merupakan ghâyat al-ta’zhîm (puncak pengagungan). Dan ini
tidak layak kecuali kepada Dzat yang memiliki puncak keagungan,
Pemberi nikmat dengan berbagai kenimatan yang besar. Dan selain Allah
SWT tidaklah demikian.” Penjelasan senada juga dikemukakan Fakhruddin
al-Razi dalam al-Tafsîr al-Kabîr.
Perintah
ini berlaku untuk seluruh manusia. Tidak ada seorang pun Rasul pun
diutus kecuali dia menyampaikan perintah ini (lihat QS al-Nahl [16]: 36
dan al-Anbiya’ [21]: 26). Sebaliknya, tindakan menyekutukan-Nya dengan
lain merupakan dosa besar yang –apabila hingga mati tidak bertaubat--
tidak terampuni (lihat QS al-Nisa’ [4]: 48, 116). Pelakunya diharamkan
surga atasnya dan tempatnya adalah neraka (lihat QS al-Maidah [5]: 72).
Perintah
berikutnya adalah: wa bi al-wâlidayni ihsân[an] (dan hendaklah kamu
berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya). Jika terhadap
Allah SWT diperintahkan beribadah, maka terhadap sesama makhluk-Nya
diperintahkan berbuat ihsan dan belas kasihan. Dan orang yang paling
berhak mendapatkannya adalah orang tua. Sebab, merekalah yang paling
banyak berjasa. Sementara bersyukur kepada pemberi nikmat adalah wajib.
Allah SWT berfirman: Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu
bapakmu (TQS Luqman [31]: 14). Rasulullah SAW juga bersabda: Man lam
yasykur al-nâs lam yasykuril-Lâh (barangsiapa yang tidak bersyukur
kepada manusia, maka dia tidak bersyukur kepada Allah, HR al-Tirmidzi
dan Ahmad dari Abu Sai’d al-Khudri).
Didahulukannya
kata al-wâlidayn menunjukkan syiddah al-ihtimâm (kuatnya perhatian).
Sedangkan digunakan ihsân[an] dalam bentuk nakirah, menunjukkan
al-ta’zhîm. Artinya, Tuhanmu memerintahkan agar kalian berbuat baik
kepada kedua orang tuamu dengan kebaikan yang agung lagi sempurna.
Demikian penjelasan Fakhruddin al-Razi.
Beberapa Hak Orang Tua
Kemudian
Allah SWT berfirman: Immâ yablughanna ‘indaka al-kibara ahaduhumâ aw
kilâhumâ (jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya
sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu). Dijelaskan Abdurrahman
al-Sa’di, frasa ini bermakna, “Jika keduanya telah sampai pada usia
yang telah lemah kekuatannya dan membutuhkan kasih sayang dan ihsân.”
Menurut al-Syaukani, disebutkannya secara khusus ketika al-kibar (usia
lanjut) karena pada saat itu perbuatan baik dari anak lebih dibutuhkan
daripada yang lain.
Tatkala
dalam keadaan demikian, seorang anak diserukan: falâ taqul lahumâ uff
(maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan
"uffin). Menurut Abu Hayyan al-Andalusi, kata al-uff merupakan ism fi’l
yang bermakna atadhajjaru (saya bosan, saya jemu). Tidak jauh berbeda,
al-Zuhaili juga menyatakan bahwa kata tersebut menunjukkan keengganan
dan keberatan. Dengan demikian –sebagaimana diterangkan al-Syaukani--,
seorang anak tidak boleh menampakkan keengganan atau keberatannya
terhadap orang tua. Kendati yang disebutkan dalam ayat ini larangan
berkata uff[in], namun mafhûm al-muwâfaqah (makna tersirat yang
sejalan) dengannya mencakup semua perkataan dan tindakan yang dapat
menyakiti hati orang tua.
Kesimpulan
ini kian dikukuh dalam frasa selanjutnya: walâ tanhar humâ (dan
janganlah kamu membentak mereka). Kata tanhar berasal dari kata al-nahr
yang berarti al-zajr bi al-ghilthah (membentak dengan marah). Demikian
penjelasan al-Zuhaili dalam al-Tafsîr al-Munîr. Tidak jauh berbeda,
Ibnu ‘Athiyah juga menuturkan bahwa al-intihâr berarti menampakkan
kemarahan dalam suara dan ucapan. Seorang anak dilarang untuk berlaku
demikian terhadap orang tuanya.
Sebaliknya,
manusia diperintahkan: waqul lahumâ qawl[an] karîm[an] (dan ucapkanlah
kepada mereka perkataan yang mulia). Menurut al-Qurthubi, qawl[an]
karîm[an] berarti qawl[an] lathîfa (perkataan yang lembut). Fakhruddin
menafsirkannya sebagai perkataan yang disertai dengan al-ta’zhîm wa
al-ihtirâm (memulyakan dan penghormatan).
Tidak
hanya dalam ucapan, namun bersikap baik itu juga mewujud dalam
perbuatan. Dalam ayat berikutnya ditegaskan: wahfidh lahumâ janâh
al-dzull min al-rahmah (dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua
dengan penuh kesayangan, TQS al-Isra’ [17]: 24). Menurut al-Razi,
ungkapan dalam ayat ini bermakna melebihkan tawadhu’. Kata min al-rahmah
menunjukkan bahwa sikap tawadlu’ itu disebabkan oleh besarnya kasih
sayang dan belas kasihan kepada keduanya karena telah tua dan lemahnya
mereka.
Diperintahkan
pula untuk mendoakan mereka. Allah SWT berfirman: Dan ucapkanlah,
"Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua
telah mendidik aku waktu kecil" (TQS al-Isra’ [17]: 24). Perintah untuk
mendoakan mereka agar diberikan rahmat dari-Nya itu berlaku baik
keduanya masih hidup maupun sudah meninggal. Khusus bagi orang tua
musyrik yang sudah meninggal, dilarang untuk mendoakannya, sebagaimana
ditegaskan dalam firman Allah SWT: Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan
orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi
orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum
kerabat (nya), sesudah jelas bagi mereka, bahwasanya orang-orang musyrik
itu, adalah penghuni neraka Jahanam (TQS al-Taubah [9]: 113).
Itulah
akhlak yang diajarkan oleh Islam kepada manusia dalam bersikap dengan
orang tua mereka. Sebagamana layaknya kewajiban, siapa pun yang
melakukannya akan mendapatkan pahala dan ridha-Nya. Sebaliknya, siapa
pun yang melanggarnya, bahkan berlaku durhaka kepada orang tuanya akan
diganjar dengan siksa yang pedih. Rasulullah SAW pernah ditanya mengenai
al-kabâir (dosa besar). Beliau menjawab “Menyekutukan Allah.” “Lalu
apa lagi?” Beliau bersabda, “‘uqûq al-wâlidayn (durhaka kepada orang
tua). Semoga kita tidak termasuk di dalamnya. Wal-Lâh a’lam bi
al-shawâb.
Ikhtisar:
- Wajib bagi manusia berbuat baik kepada orang tuanya, terlebih ketika usia mereka sudah lanjut
- Sikap anak terhadap orang tuanya: (1) tidak berkata yang menyakitkan hati mereka; (2) tidak membentak mereka; (3) harus berkata dengan perkataan yang mulia; (4) bersikap tawadlu; (5) mendoakan mereka
0 komentar:
Posting Komentar