GM, Halaqoh Online, nafsiyah 10:05 AM
Oleh M Rahmat Kurnia |
Pada
saat Rasulullah SAW berhijrah dari Makkah ke Madinah, beliau ditemani
oleh sahabatnya, Abu Bakar Shiddiq r.a. Terkait masalah ini ada hal
menarik dari apa yang diriwayatkan oleh Imam al-Hakim dalam kitabnya
al-Mustadrak. Beliau menyebutkan, sepanjang perjalanan tersebut Abu
Bakar berjalan berpindah-pindah posisi. Sesekali mengambil posisi di
depan beliau, dan kadangkala di belakangnya.
Apa
yang dilakukan Abu Bakar rupanya membuat Rasulullah SAW penasaran.
Beliaupun segera bertanya, “Wahai Abu Bakar, apakah gerangan yang
menjadikan engkau sesekali berjalan di depanku lalu sesekali pindah
berjalan di belakangku?” Abu Bakar pun menjawab serius, “Bila aku ingat
orang-orang yang mengejarmu, aku berjalan di belakangmu agar aku dapat
melindungimu. Namun, ketika aku teringat pada orang-orang yang hendak
menerjangmu dari depan akupun berjalan di depanmu.” Mendengar jawaban
demikian Nabi Muhammad SAW melanjutkan bertanya, “Wahai Abu Bakar, jika
terjadi sesuatu, apakah engkau suka hal itu menimpamu dan tidak
menimpaku?” Abu Bakar menjawab tanpa ragu, “Benar. Demi Allah yang
mengutusmu dengan hak, jika ada suatu perkara yang menyakitkan maka aku
lebih suka hal itu menimpaku dan tidak menimpamu.”
Ketika
keduanya sampai di Gua Tsur, Abu Bakar melakukan inspeksi dulu terhadap
isi gua. Barangkali ia khawatir ada hal yang membahayakan Nabi seperti
ular. “Tunggu sebentar di tempatmu, duhai Rasulullah! Aku akan
membersihkan gua untukmu,” ujarnya. Abu Bakar segera masuk gua lalu
membersihkannya dari segala sesuatu yang dapat mengganggu. Ketika dia
ada di atas gua, ia ingat belum membersihkan dan menutup suatu lubang.
“Wahai Rasulullah, tunggu sebentar, aku akan membersihkan sebuah lubang
dulu,” lanjutnya. Setelah selesai melakukan pengamanan dalam gua Abu
Bakar mempersilakan Nabi masuk, “Silakan turun, wahai Rasulullah!”
Beliau pun turun ke gua.
Sepenggal
kisah di atas menggambarkan betapa cintanya Abu Bakar kepada Rasulullah
Muhammad SAW. Apa sebenarnya yang ada di benak Abu Bakar kala itu?
Ketika ditanya Nabi tentang mengapa ia melakukan hal tersebut, ia
mengatakan: ”Kalau aku yang binasa, tidak akan ada apa-apa. Sebab, aku
hanyalah seorang awam. Namun, bila engkau binasa, bagaimana dengan kaum
Muslim dan masa depan Islam. Engkau adalah inti agama ini.” Nampak
jelas, dibalik kecintaan Abu Bakar kepada Rasulullah adalah kecintaannya
kepada Islam. Seakan-akan Abu Bakar menegaskan bahwa disamping
memuliakan diri Nabi, salah satu bukti penting kecintaan seseorang
kepada Rasulullah Muhammad SAW adalah pembelaannya kepada Islam yang
beliau bawa.
Hal
serupa merupakan karakter sahabat. Thariq bin Shihab meriwayatkan
bahwa ia pernah mendengar Ibnu Mas'ud berkata, ”Aku bersama Miqdad bin
al-Aswad pernah ikut perang Badar. Jika aku menjadi peraih syahid, maka
itu lebih aku sukai daripada terlepas darinya. Orang itu datang kepada
Nabi SAW pada saat beliau sedang berdoa bagi kehancuran kaum musyrik.
Ia pun berkata, ”Kami tidak akan mengatakan sebagaimana pernyataan kaum
Musa kepada Musa nabi mereka 'Pergilah engkau dan Tuhan-mu berperang'.
Sebaliknya, kami akan berperang di sebelah kananmu, di sebelah kirimu,
di depan dan di belakangmu. Maka aku melihat wajah Nabi SAW
bersinar-sinar dan perkataannya menunjukkan kegembiraan” (HR. Bukhari).
Padahal, kata Nabi, yang disebut berperang di jalan Allah itu adalah li
i'lai kalimatillah (meninggikan kalimat Allah). Karenanya, sikap
berperang dari segenap arah bersama Nabi sebenarnya dalam rangka membela
Islam sekaligus Rasul yang membawanya. Bahkan, Sa'ad pernah
menunjukkan sikapnya untuk siap berperang mengorbankan nyawa sekalipun
dalam menghadapi orang-orang yang mencampakkan Islam dengan cara
mendustakan Rasulullah (HR. Bukhari dan Muslim). Itulah kecintaan para
sahabat, kecintaan pada Rasul yang dibuktikan dengan kecintaan,
penerapan, dan pembelaan pada Islam.
Segenap
kecintaan sahabat kepada Nabi berintikan kecintaan kepada Islam.
Bahkan, kecintaan isterinya pun demikian. Kecintaan Khadijah kepada
Nabi Muhammad SAW bukanlah sedangkal cinta seorang isteri kepada suami,
melainkan cinta seorang umat kepada Rasulullah yang diutus kepadanya
sekaligus kecintaannya kepada Islam. Ketika Nabi ketakutan saat pertama
kali menerima wahyu, Khadijah malah berkata, ”O, putera pamanku,
bergembiralah, dan tabahkanlah hatimu! Demi Dia yang memegang hidup
Khadijah, aku berharap kiranya engkau akan menjadi Nabi atas umat ini.
Sama sekali Allah tidak akan mencemoohkan kau ...”. Gambaran ini pun
nyata sekali dalam ungkapan Nabi tentangnya: ”Demi Allah, aku tidak
pernah mendapat pengganti yang lebih baik daripada Khadijah. Ia beriman
kepadaku ketika semua orang ingkar. Ia mempercayaiku kala semua orang
mendustakanku. Ialah yang memberi harta pada saat semua orang enggan
memberi. Dan darinya aku memperoleh keturunan, sesuatu yang tidak
kuperoleh dari istri-istriku yang lain” (HR. Ahmad).
Kini,
1400 tahun telah berlalu. Adakah kecintaan kepada Rasul terpatri dalam
hati? Ketika Nabi dilecehkan berulang-ulang, sudahkah kita
membelanya? Saat Islam dilecehkan dalam film fitna, ajaran-ajarannya
tentang poligami, hukuman mati (qishash) dan jihad disudutkan dengan
dalih bertentangan dengan hak asasi manusia (HAM), dimanakah pembelaan
kita yang mengaku umatnya? Kala al-Quran diputarbalikkan, adakah sikap
perjuangan dan pembelaan? Padahal, bukankah ayat demi ayat al-Quran
dahulu dibela oleh Rasulullah dan para sahabat dengan pikiran, harta
bahkan nyawa mereka? Kini, saatnya kita menunjukkan cinta hakiki kita
kepada Rasul dengan jalan menerapkan, memperjuangkan dan membela Islam
yang beliau sampaikan![]
0 komentar:
Posting Komentar