Ikutilah Agama yang Diridhai (Tafsir TQS Ali Imran [3]: 19) - infoblogmu.com
Headlines News :
Home » » Ikutilah Agama yang Diridhai (Tafsir TQS Ali Imran [3]: 19)

Ikutilah Agama yang Diridhai (Tafsir TQS Ali Imran [3]: 19)

Written By radjie ahmad on Jumat, 02 Desember 2011 | 17.39


labib.jpg (200×132)

Oleh: Rokhmat S. Labib, M.E.I.
Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam. Tiada berselisih orang-orang yang telah diberi al-Kitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. Barang siapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah maka sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya (TQS Ali Imran [3]: 19).
benarkah manusia bebas  memilih agama sesukanya? Kalau ditanyakan kepada ide HAM  yang  dibuat oleh Barat, jawabnya  pasti:  Ya! Agama adalah hak setiap manusia. Oleh karenanya, manusia bebas memilih agama apa pun, atau  bahkan  tidak  memeluk agama apa pun.
Bagaimana jika ditanyakan kepada Islam? Ayat di atas memberikan jawaban jelas atas pertanyaan itu. Agar lebih jelas, ayat ini perlu dikupas lebih dalam.
Yang diridhai Allah
 Allah SWT berfirman: Inna al-dîn 'indal-Lâh al-Islâm (sesungguhnya agama (yang diridai) di sisi Allah hanyalah Islam). Pada awalnya,  kata  al-dîn  secara  bahasa  bermakna  al-jazâ'  wa  al-mukâ'ah (balasan dan imbalan). Demikian  Ibnu  Manzhur  dalam Lisân  al-'Arab.  Oleh  karena  itu, kata yawm al-dîn berarti yawm al-jazâ' (hari pembalasan).
Kemudian–menurut  Fakhruddin  al-Razi—kata  al-thaâ'ah (ketaatan) disebut sebagai al-dîn karena ketaatan merupakan sebab terjadinya pembalasan. Dijelaskan al-Raghib al-Asfahani, kata al-dîn  juga  digunakan  untuk menyebut al-syarî'ah wa al-millah (syariah dan agama). Akan tetapi, ungkapan  tersebut  untuk  menunjuk ketaatan dan ketundukan terhadap  syariah  dan  agama. Pengertian ini terkandung dalam firman Allah SWT: Dan siapakah yang lebih baik agamanya daripada  orang  yang  ikhlas  menyerahkan  dirinya  kepada  Allah, sedang  dia  pun  mengerjakan kebaikan,  dan  ia  mengikuti agama Ibrahim yang lurus? (TQS al-Nisa' [4]: 125).
Dalam  konteks  ayat  ini, sebagaimana  diterangkan Abu Hayyan  al-Andalusi,  kata  al-dîn dalam  ayat  ini  bermakna  al-millah wa al-syar' (agama dan hukum, undang-undang). Yakni, al-dîn al-maqbûl aw al-nâfi' aw al-muqarrar (agama yang diterima, bermanfaat  atau  yang  ditetapkan).
Sedangkan al-Islâm, secara bahasa berarti al-istislâm wa al-inqiyâd al-tâm (penyerahan diri dan ketundukan total). Demikian Ali al-Shabuni dalam Shafwah al-Tafâsîr.  Pengertian  ini  terdapat dalam beberapa ayat. Terutama ayat-ayat  yang  memberitakan tentang kisah para nabi sebelum Rasulullah  SAW.  Mereka  disifati sebagai  muslimûn  yang  berarti munqâdûn  (orang-orang  yang tunduk dan berserah diri).
Adapun  secara  syar'i,  al-Islam merupakan al-dîn (dengan aqidah  dan  syariahnya)  yang diturunkan  Allah  SWT  kepada Rasulullah  SAW  untuk  seluruh manusia. Pengertian tersebut disimpulkan  dari  beberapa  ayat, seperti QS al-Maidah [5]: 3 dan Ali Imran [3]: 85. Juga dari ayat ini. Dalam semua ayat tersebut, kata al-Islâm disertai dengan kata al-dîn;  itu  menunjukkan  bahwa Islam merupakan sebuah al-dîn.
Ketika  Rasulullah  SAW  ditanya oleh Jibril tentang Islam, beliau pun memberikan penjelasan yang berbeda dengan makna bahasanya. Beliau bersabda:
Islam itu adalah engkau bersaksi bahwa  sesungguhnya  tidak  ada ilah selain Allah dan sesungguhnya Muhammad itu utusan Allah, engkau  mendirikan  shalat,  mengeluarkan zakat, berpuasa pada bulan  Ramadlan,  dan  mengerjakan ibadah haji ke baitullah jika engkau  mampu  melakukannya (HR Muslim dari Umar ra).
Semua nash tersebut menunjukkan  bahwa  kata  Islam telah  dipindahkan  maknanya; dari  makna  bahasa  menjadi makna  syar'i.  Oleh  karena  itu, semua  kata  yang  berakar  dari kata al-islâm—seperti bentuk al-fi'l:  aslama,  yuslimu,  aslim, atau bentuk  al-ism:  muslim—jika  diucapkan  tanpa  suatu  qarinah (indikasi),  harus  dipahami  dengan makna syar'i. Ini pula makna al-Islâm dalam ayat ini.
Dengan demikian, sebagaimana  dijelaskan  al-Samarqandi dan al-Baidhawi, ayat ini memberikan penegasan bahwa agama yang diridhai Allah SWT adalah  Islam.  Atau  lebih  tepatnya, sebagaimana  dijelaskan  Syekh Taqiyuddin al-Nabahani, agama yang diterima di sisi Allah setelah diutusnya Nabi Muhammad SAW adalah Islam.
Kesimpulan  tersebut  sejalan dengan QS al-Maidah [5]: 3 yang menegaskan bahwa Allah SWT  telah  meridhai  Islam  sebagai  agama  buat  Rasulullah
SAW dan umatnya. Juga QS Ali Imran [3]: 85 yang menyatakan bahwa siapa pun yang mencari agama  selain  Islam  tidak  akan diterima dari dan di akhirat kelak menjadi orang-orang yang merugi. Juga sabda Rasulullah SAW: Demi Allah yang jiwa Muhammad ada  di  tangan-Nya,  tidaklah mendengar tentang aku seorang dari umat ini, baik dia Yahudi atau Nasrani,  lalu  ia  mati  dan  tidak mengimani risalah yang aku bawa (Islam),  kecuali  termasuk  penghuni neraka (HR Muslim).
Sikap  Ahli  Kitab  dan Akibatnya
Kemudian  Allah SWT  berfirman:  Wamâ[i]khtalafa  al-ladzîna ûtû al-Kitâb illâ min ba'di mâ jâa al-'ilm baghy[an] bayna-hum  (tiada  berselisih  orang-orang yang telah diberi al-Kitab kecuali sesudah datang pengetahuan  kepada  mereka  karena kedengkian [yang ada] di antara mereka). Lafadz al-ladzîna ûtû al-Kitâb  menunjuk kepada Yahudi dan  Nasrani.  Karena  lafadznya besifat umum, maka cakupannya pun menyeluruh, meliputi mereka semua.
Dalam ayat ini tidak disebutkan  tentang  perkara  yang mereka  perselisihkan.  Menurut al-Qurthubi dan al-Wahidi, perkara itu adalah tentang kenabian
Muhammad  SAW.  Mahmud  al-Hijazi  dalam  al-Tafsîr  al-Wâdhih juga  mengatakan  bahwa  Nabi Muhammad  SAW  sebagai  khâtam al-anbiyâ' telah diberitakan kepada mereka. Sehingga mereka mengenal benar nabi penutup itu sebagaimana layaknya mereka mengenal anak-anaknya (lihat QS al-Baqarah [2]: 146).
Akan  tetapi,  ketika  nabi penutup itu telah diutus dengan membawa  risalah,  kitab,  dan bukti-bukti yang nyata, yakni min ba'di mâ jâa al-'ilm (sesudah datang pengetahuan kepada mereka), mereka justru berselisih tentangnya. Ada yang mengimaninya, namun tidak sedikit yang mengingkarinya.  Pengingkaran mereka bukan disebabkan karena  kebodohan  dan  ketidaktahuan. Bukan pula karena bukti yang dibawa Nabi SAW meragukan  sehingga  layak  diingkari. Namun  disebabkan  oleh  sifat dengki mereka. Yakni: baghy[an] baynahum.  Artinya,  hasad[an] baynahum (disebabkan oleh kedengkian  di  antara  mereka). Tentang  kedengkian  mereka juga  diberitakan  dalam  QS  al-Baqarah [2]: 109.
Kemudian ditegaskan: wa-man yakfur bi âyâtil-Lâh Fa innal-Lâh  sarî'  al-hisâb  (barang  siapa yang  kafir  terhadap  ayat-ayat Allah, maka sesungguhnya Allah sangat  cepat  hisab-Nya).  Ini merupakan ancaman keras bagi siapa pun yang ingkar terhadap Islam, sebagian atau seluruhnya. Cepatnya hisab di sini menggambarkan cepatnya azab yang bakal ditimpakan  kepada  mereka. Sebab,  kekufuran  sebagaimana diberitakan  dalam  banyak  ayat menyebabkan  pelakunya  mendapatkan azab yang pedih dan dahsyat.
Dengan demikian, jelaslah. Manusia  tidak  diperbolehkan memilih  agama  sesukanya.  Sebab, Allah SWT telah menetapkan  agama  yang  diridhai-Nya.
Seluruh manusia wajib memeluk dan  mengikutinya.  Memang selama di dunia, manusia diberi kesempatan  untuk  memeluk agama selainnya.  Akan  tetapi, pilihannya itu mengandung konsekuensi  yang  amat  berat. Dia harus  menanggung  azab  yang maha  dahsyat  di  akhirat  kelak. Tak  ada  alasan  yang  dapat  diterima  untuk  membenarkan kekufuran  mereka. Termasuk alasan HAM dan kebebasan yang kerap diteriakkan semasa hidup di dunia. Tanpa ampun, mereka dipaksa  menghuni  neraka selama-lamanya. Masih ada yang tertarik  dengan  ide  HAM  dan kebebasan? Wal-Lâh a'lam bi al-shawâb.[]
Share this article :

0 komentar:

Review Games

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2011. infoblogmu.com - All Rights Reserved
Template Design by Creating Website Published by Mas Template