Halaqoh Online,
Tafsir
9:44 AM
Oleh: Rokhmat S. Labib, M.E.I.
Sesungguhnya
agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam. Tiada berselisih
orang-orang yang telah diberi al-Kitab kecuali sesudah datang
pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara
mereka. Barang siapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah maka
sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya (TQS Ali Imran [3]: 19).
benarkah
manusia bebas memilih agama sesukanya? Kalau ditanyakan kepada ide
HAM yang dibuat oleh Barat, jawabnya pasti: Ya! Agama adalah hak
setiap manusia. Oleh karenanya, manusia bebas memilih agama apa pun,
atau bahkan tidak memeluk agama apa pun.
Bagaimana
jika ditanyakan kepada Islam? Ayat di atas memberikan jawaban jelas
atas pertanyaan itu. Agar lebih jelas, ayat ini perlu dikupas lebih
dalam.
Yang diridhai Allah
Allah SWT berfirman: Inna al-dîn 'indal-Lâh al-Islâm (sesungguhnya agama
(yang diridai) di sisi Allah hanyalah Islam). Pada awalnya, kata
al-dîn secara bahasa bermakna al-jazâ' wa al-mukâ'ah (balasan dan
imbalan). Demikian Ibnu Manzhur dalam Lisân al-'Arab. Oleh karena
itu, kata yawm al-dîn berarti yawm al-jazâ' (hari pembalasan).
Kemudian–menurut
Fakhruddin al-Razi—kata al-thaâ'ah (ketaatan) disebut sebagai al-dîn
karena ketaatan merupakan sebab terjadinya pembalasan. Dijelaskan
al-Raghib al-Asfahani, kata al-dîn juga digunakan untuk menyebut
al-syarî'ah wa al-millah (syariah dan agama). Akan tetapi, ungkapan
tersebut untuk menunjuk ketaatan dan ketundukan terhadap syariah
dan agama. Pengertian ini terkandung dalam firman Allah SWT: Dan
siapakah yang lebih baik agamanya daripada orang yang ikhlas
menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dia pun mengerjakan
kebaikan, dan ia mengikuti agama Ibrahim yang lurus? (TQS al-Nisa'
[4]: 125).
Dalam
konteks ayat ini, sebagaimana diterangkan Abu Hayyan al-Andalusi,
kata al-dîn dalam ayat ini bermakna al-millah wa al-syar' (agama
dan hukum, undang-undang). Yakni, al-dîn al-maqbûl aw al-nâfi' aw
al-muqarrar (agama yang diterima, bermanfaat atau yang ditetapkan).
Sedangkan
al-Islâm, secara bahasa berarti al-istislâm wa al-inqiyâd al-tâm
(penyerahan diri dan ketundukan total). Demikian Ali al-Shabuni dalam
Shafwah al-Tafâsîr. Pengertian ini terdapat dalam beberapa ayat.
Terutama ayat-ayat yang memberitakan tentang kisah para nabi sebelum
Rasulullah SAW. Mereka disifati sebagai muslimûn yang berarti
munqâdûn (orang-orang yang tunduk dan berserah diri).
Adapun
secara syar'i, al-Islam merupakan al-dîn (dengan aqidah dan
syariahnya) yang diturunkan Allah SWT kepada Rasulullah SAW untuk
seluruh manusia. Pengertian tersebut disimpulkan dari beberapa ayat,
seperti QS al-Maidah [5]: 3 dan Ali Imran [3]: 85. Juga dari ayat ini.
Dalam semua ayat tersebut, kata al-Islâm disertai dengan kata al-dîn;
itu menunjukkan bahwa Islam merupakan sebuah al-dîn.
Ketika
Rasulullah SAW ditanya oleh Jibril tentang Islam, beliau pun
memberikan penjelasan yang berbeda dengan makna bahasanya. Beliau
bersabda:
Islam itu adalah engkau bersaksi bahwa sesungguhnya tidak ada ilah selain Allah dan sesungguhnya Muhammad itu utusan Allah, engkau mendirikan shalat, mengeluarkan zakat, berpuasa pada bulan Ramadlan, dan mengerjakan ibadah haji ke baitullah jika engkau mampu melakukannya (HR Muslim dari Umar ra).
Islam itu adalah engkau bersaksi bahwa sesungguhnya tidak ada ilah selain Allah dan sesungguhnya Muhammad itu utusan Allah, engkau mendirikan shalat, mengeluarkan zakat, berpuasa pada bulan Ramadlan, dan mengerjakan ibadah haji ke baitullah jika engkau mampu melakukannya (HR Muslim dari Umar ra).
Semua
nash tersebut menunjukkan bahwa kata Islam telah dipindahkan
maknanya; dari makna bahasa menjadi makna syar'i. Oleh karena
itu, semua kata yang berakar dari kata al-islâm—seperti bentuk
al-fi'l: aslama, yuslimu, aslim, atau bentuk al-ism: muslim—jika
diucapkan tanpa suatu qarinah (indikasi), harus dipahami dengan
makna syar'i. Ini pula makna al-Islâm dalam ayat ini.
Dengan
demikian, sebagaimana dijelaskan al-Samarqandi dan al-Baidhawi, ayat
ini memberikan penegasan bahwa agama yang diridhai Allah SWT adalah
Islam. Atau lebih tepatnya, sebagaimana dijelaskan Syekh Taqiyuddin
al-Nabahani, agama yang diterima di sisi Allah setelah diutusnya Nabi
Muhammad SAW adalah Islam.
Kesimpulan
tersebut sejalan dengan QS al-Maidah [5]: 3 yang menegaskan bahwa
Allah SWT telah meridhai Islam sebagai agama buat Rasulullah
SAW dan umatnya. Juga QS Ali Imran [3]: 85 yang menyatakan bahwa siapa pun yang mencari agama selain Islam tidak akan diterima dari dan di akhirat kelak menjadi orang-orang yang merugi. Juga sabda Rasulullah SAW: Demi Allah yang jiwa Muhammad ada di tangan-Nya, tidaklah mendengar tentang aku seorang dari umat ini, baik dia Yahudi atau Nasrani, lalu ia mati dan tidak mengimani risalah yang aku bawa (Islam), kecuali termasuk penghuni neraka (HR Muslim).
SAW dan umatnya. Juga QS Ali Imran [3]: 85 yang menyatakan bahwa siapa pun yang mencari agama selain Islam tidak akan diterima dari dan di akhirat kelak menjadi orang-orang yang merugi. Juga sabda Rasulullah SAW: Demi Allah yang jiwa Muhammad ada di tangan-Nya, tidaklah mendengar tentang aku seorang dari umat ini, baik dia Yahudi atau Nasrani, lalu ia mati dan tidak mengimani risalah yang aku bawa (Islam), kecuali termasuk penghuni neraka (HR Muslim).
Sikap Ahli Kitab dan Akibatnya
Kemudian Allah SWT berfirman: Wamâ[i]khtalafa al-ladzîna ûtû
al-Kitâb illâ min ba'di mâ jâa al-'ilm baghy[an] bayna-hum (tiada
berselisih orang-orang yang telah diberi al-Kitab kecuali sesudah
datang pengetahuan kepada mereka karena kedengkian [yang ada] di
antara mereka). Lafadz al-ladzîna ûtû al-Kitâb menunjuk kepada Yahudi
dan Nasrani. Karena lafadznya besifat umum, maka cakupannya pun
menyeluruh, meliputi mereka semua.
Dalam
ayat ini tidak disebutkan tentang perkara yang mereka
perselisihkan. Menurut al-Qurthubi dan al-Wahidi, perkara itu adalah
tentang kenabian
Muhammad SAW. Mahmud al-Hijazi dalam al-Tafsîr al-Wâdhih juga mengatakan bahwa Nabi Muhammad SAW sebagai khâtam al-anbiyâ' telah diberitakan kepada mereka. Sehingga mereka mengenal benar nabi penutup itu sebagaimana layaknya mereka mengenal anak-anaknya (lihat QS al-Baqarah [2]: 146).
Muhammad SAW. Mahmud al-Hijazi dalam al-Tafsîr al-Wâdhih juga mengatakan bahwa Nabi Muhammad SAW sebagai khâtam al-anbiyâ' telah diberitakan kepada mereka. Sehingga mereka mengenal benar nabi penutup itu sebagaimana layaknya mereka mengenal anak-anaknya (lihat QS al-Baqarah [2]: 146).
Akan
tetapi, ketika nabi penutup itu telah diutus dengan membawa
risalah, kitab, dan bukti-bukti yang nyata, yakni min ba'di mâ jâa
al-'ilm (sesudah datang pengetahuan kepada mereka), mereka justru
berselisih tentangnya. Ada yang mengimaninya, namun tidak sedikit yang
mengingkarinya. Pengingkaran mereka bukan disebabkan karena kebodohan
dan ketidaktahuan. Bukan pula karena bukti yang dibawa Nabi SAW
meragukan sehingga layak diingkari. Namun disebabkan oleh sifat
dengki mereka. Yakni: baghy[an] baynahum. Artinya, hasad[an] baynahum
(disebabkan oleh kedengkian di antara mereka). Tentang kedengkian
mereka juga diberitakan dalam QS al-Baqarah [2]: 109.
Kemudian
ditegaskan: wa-man yakfur bi âyâtil-Lâh Fa innal-Lâh sarî' al-hisâb
(barang siapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah, maka sesungguhnya
Allah sangat cepat hisab-Nya). Ini merupakan ancaman keras bagi
siapa pun yang ingkar terhadap Islam, sebagian atau seluruhnya. Cepatnya
hisab di sini menggambarkan cepatnya azab yang bakal ditimpakan
kepada mereka. Sebab, kekufuran sebagaimana diberitakan dalam
banyak ayat menyebabkan pelakunya mendapatkan azab yang pedih dan
dahsyat.
Dengan
demikian, jelaslah. Manusia tidak diperbolehkan memilih agama
sesukanya. Sebab, Allah SWT telah menetapkan agama yang
diridhai-Nya.
Seluruh manusia wajib memeluk dan mengikutinya. Memang selama di dunia, manusia diberi kesempatan untuk memeluk agama selainnya. Akan tetapi, pilihannya itu mengandung konsekuensi yang amat berat. Dia harus menanggung azab yang maha dahsyat di akhirat kelak. Tak ada alasan yang dapat diterima untuk membenarkan kekufuran mereka. Termasuk alasan HAM dan kebebasan yang kerap diteriakkan semasa hidup di dunia. Tanpa ampun, mereka dipaksa menghuni neraka selama-lamanya. Masih ada yang tertarik dengan ide HAM dan kebebasan? Wal-Lâh a'lam bi al-shawâb.[]
Seluruh manusia wajib memeluk dan mengikutinya. Memang selama di dunia, manusia diberi kesempatan untuk memeluk agama selainnya. Akan tetapi, pilihannya itu mengandung konsekuensi yang amat berat. Dia harus menanggung azab yang maha dahsyat di akhirat kelak. Tak ada alasan yang dapat diterima untuk membenarkan kekufuran mereka. Termasuk alasan HAM dan kebebasan yang kerap diteriakkan semasa hidup di dunia. Tanpa ampun, mereka dipaksa menghuni neraka selama-lamanya. Masih ada yang tertarik dengan ide HAM dan kebebasan? Wal-Lâh a'lam bi al-shawâb.[]
0 komentar:
Posting Komentar