Al Hafizh Abu al Khair as Sakhawi mengatakan
bahwa peringatan maulid Nabi yang mulia itu tidak dilakukan atau dinukil
dari salaf pada masa abad ke 3 Hijriyah, dimulai peringatan maulid
tersebut setelah abad ke 3 Hijriyah. Pada acara tersebut diadakan
berbagai amal kebajikan, membaca kitab maulid dan menampakkan
kegembiraan atas kelahiran Nabi. Sehingga tampaklah keberkahan pada
mereka.
Dari kalangan pembesar-pembesar negara, yang
mula-mula mengadakan perayaan untuk memperingatinya tercatatlah nama
Raja Mudhaffar Abu Sa’id penguasa Irbil, Irak. Demikian menurut pendapat
Imam as-Sakhawi.
Menurut keterangan Imam Ibnu al Jauzi, pada
upacara ini pujangga terkenal Hafizh Ibnu Dihyah menyusun suatu naskah
yang dinamakan dengan At-Tanwir fi Maulidil Basyir an-Nadzir, yang
isinya memuat riwayat singkat perjuangan Nabi Muhammad saw. Untuk ini
Raja Mudhaffar Abu Sa’id memberinya 1000 dinar. Beliau terkenal seorang
yang gagah perkasa, pintar dan bijaksana. Ketika wafat, beliau sedang
dalam penyerangan mengepung pasukan Eropa di kota Aka, tahun 630 H.
Dalam kitab I’anatuth Thalibin , Syaikh Abu
Bakar bin Muhammad Syatha Ad Dimyathi menyatakan bahwa Imam Ibnu Jauzi
dalam kitab Mir-at Az Zaman menceritakan tentang peringatan Maulid yang
diadakan Raja Mudhaffar Abu Sa’id itu. Dikatakan dalam upacara itu
disembelih sebanyak 5.000 ekor kambing, 10.000 ekor ayam, 100.000 roti
mentega dan 30.000 piring kue-kue. Hadir pada upacara itu,
pemuka-pemuka, alim ulama, ahli-ahli tasawuf dan orang-orang besar
lainnya. Biaya seluruhnya mencapai 300.000 dinar. Mulai saat itu hingga
kini ramai umat Islam di seluruh dunia memperingati Mauild Nabi.
Imam Abu Syamah (guru Imam An Nawawi) lebih
jauh menegaskan bahwa diantara bid’ah yang baik dilakukan pada masa kita
sekarang ini, adalah pertemuan pada tanggal 12 Rabiul Awal dengan
bersedekah, berbuat baik, berdandan rapi dan menghias diri, sebagai
tanda kegembiraan hati atas kelahiran Nabi Muhammad SAW. Semua perbuatan
itu termasuk menyantuni anak-anak yatim dan fakir miskin, merupakan
lambang atau syiar pernyataan sikap kecintaan kita kepada Nabi Muhammad
SAW, dan menunjukkan peghormatan kita terhadap kebesaran Nabi serta
tanda syukur dan terima kasih kepada Allah SWT yang telah mengutus Nabi
Muhammad SAW ke permukaan bumi untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam.
Banyak
ulama dan fuqaha yang telah menulis buku-buku tentang anjuran merayakan
peringatan maulid Nabi Saw yang mulia. Mereka menjelaskan dalil-dalil
yang shahih tentang sunnahnya kegiatan ini. Semua itu tidak menyisakan
ruang bagi orang yang memiliki akal, pemahaman, dan pikiran yang
sempurna untuk mengingkari apa yang telah ditempuh dan dilakukan oleh
kalangan salafussaleh berupa perayaan maulid Nabi Saw
Dalam kitab Al-Madkhal, Ibnu Hajj menjelaskan
dengan panjang lebar tentang keutamaan-keutamaan yang berkaitan dengan
perayaan ini dan dia mengemukakan uraian penuh manfaat yang membuat
lapang hati orangorang yang beriman.
Perlu diketahui bahwa Ibnu Hajj sendiri menulis kitab al-Madkhal dengan tema mencela perkara-perkara bid’ah yang diada-adakan yang tidak tersentuh oleh dalil syariat.
Perlu diketahui bahwa Ibnu Hajj sendiri menulis kitab al-Madkhal dengan tema mencela perkara-perkara bid’ah yang diada-adakan yang tidak tersentuh oleh dalil syariat.
Sang Penutup para hafizh, Jalaluddin
As-Suyuthi, di dalam bukunya “Husnul Maqshid fi ‘Amalil Maulid”
memberikan penjelasan tentang maulid Nabi Saw dalam rangka menjawab
pertanyaan yang diajukan kepadanya tentang kegiatan maulid Nabi Saw pada
bulan Rabi’ul Awwal: Apa hukumnya dalam pandangan syariah? Apakah
kegiatan itu terpuji atau tercela? Dan apakah pelakunya mendapatkan
pahala? Dia berkata, “Jawabannya, menurutku, bahwa hukum dasar kegiatan
maulid -yang herupa berkumpulnya orang-orang yang banyak; membaca
beberapa ayat-ayat Al Quran; menyampaikan ‘khabar-khabar’ yang
diriwayatkan tentang awal perjalanan hidup Nabi Saw dan tanda-tanda
kebesaran yang terjadi pada waktu kelahiran Beliau; kemudian dihidangkan
makanan untuk mereka dan mereka pun makan bersama; lalu mereka heranjak
pulang, tanpa ada tambahan kegiatan lain- adalah termasuk bid’ah
hasanah (bid’ah baik) dan diberikan pahala hagi orang yang melakukannya.
Karena dalam kegiatan itu terkandung makna mengagungkan peran dan
kedudukan Nabi Saw serta menunjukkan suka cita dan kegembiraan terhadap
kelahiran beliau.”
Imam Suyuthi membantah orang yang berkata, “Aku
tidak mengetahui dasar hukum perayaan maulid ini di dalam Al Quran
maupun di dalam Sunnah,” dengan mengatakan, “Ketidaktahuan terhadap
sesuatu tidak lalu herarti tidak adanya sesuatu itu,”. Beliau juga
menjelaskan bahwa Imam para hafizh, Abu Fadhl Ibnu Hajar -semoga Allah
merahmatinya-, telah menjelaskan dasar hukumnya dari Sunnah. Imam
Suyuthi sendiri juga mengemukakan dasar hukumnya yang kedua dan
menjelaskan bahwa bid’ah tercela adalah perkara baru yang tidak ada
hubungannya sama sekali dengan dalil syariat. Adapun jika ada hubungan
yang kuat dengan dalil syariat yang memujinya, maka perkara itu tidak
tercela.
Al Baihaqi meriwayatkan dari Imam Syafi’i Ra
bahwa dia berkata, “Perkara-perkara baru itu ada dua macam, yaitu:
pertama, perkara baru yang diada-adakan yang bertentangan dengan Al
Quran, Sunnah, atsar, atau ijma’. Maka, ini adalah bid’ah yang sesat.
Kedua, perkara-perkara baru yang baik; tidak ada pertentangan dengan
satu pun (dari rujukan-rujukan hukum di atas). Dan, ini adalah perkara
baru yang tidak tercela. Umar bin Khaththab Ra berkata tentang
pelaksanaan shalat tarawih pada bulan Ramadhan, “Alangkah baiknya bid’ah
ini”
Yakni ini adalah perkara baru yang belum dilaksanakan sebelumnya. Namun apabila dilakukan maka kita juga tidak akan menemukannya bertentangan dengan perkara yang dahulu (terjadi di zaman Nabi)”. Demikian akhir kutipan dari pendapat Imam Syafi’i.
Yakni ini adalah perkara baru yang belum dilaksanakan sebelumnya. Namun apabila dilakukan maka kita juga tidak akan menemukannya bertentangan dengan perkara yang dahulu (terjadi di zaman Nabi)”. Demikian akhir kutipan dari pendapat Imam Syafi’i.
Imam Suyuthi berkata, “Kegiatan merayakan
maulid Nabi Saw tidak bertentangan dengan Al Quran, Sunnah, atsar,
maupun ijma’. Maka ini bukan perbuatan tercela sebagaimana yang
diungkapkan oleh Imam Syafi’i. Justru kegiatan itu merupakan perbuatan
baik yang belum dikenal pada masa-masa awal Islam. Kegiatan memberi
makan yang terlepas dari perbuatan dosa adalah perbuatan baik. Dengan
demikian, kegiatan maulid termasuk perkara baru yang dianjurkan
sebagaimana diungkapkan oleh Sultannya para Ulama, Izzuddin bin
Abdissalam.”
Dan hukum dasar berkumpul untuk menyemarakkan
syiar maulid adalah sunnah dan qurbah (ibadah mendekatkan diri kepada
Allah). Sebab kelahiran Nabi Saw merupakan nikmat terbesar untuk kita,
dan syariat memerintahkan kita untuk mengungkapkan rasa syukur atas
nikmat yang kita peroleh.
Inilah yang dinyatakan kuat (rajih) oleh Ibnu Hajj di dalam kitab Al-Madkhal. Beliau berkata, “Karena pada bulan ini Allah Swt menganugerahkan kepada manusia di bumi tokoh junjungan untuk orang-orang terdahulu dan sekarang, maka wajib untuk ditingkatkan pada hari itu ibadah-ibadah, kebaikan, dan syukur kepada Allah atas nikmat besar yang dilimpahkan-Nya kepada kita.”
Inilah yang dinyatakan kuat (rajih) oleh Ibnu Hajj di dalam kitab Al-Madkhal. Beliau berkata, “Karena pada bulan ini Allah Swt menganugerahkan kepada manusia di bumi tokoh junjungan untuk orang-orang terdahulu dan sekarang, maka wajib untuk ditingkatkan pada hari itu ibadah-ibadah, kebaikan, dan syukur kepada Allah atas nikmat besar yang dilimpahkan-Nya kepada kita.”
Dasar
hukum yang dikeluarkan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar tentang kegiatan
maulid Nabi Saw adalah hadits yang terdapat di dalam Shahih Bukhari dan
Shahih Muslim bahwa Nabi Saw tiba ke Madinah dan menemukan orang-orang
Yahudi sedang berpuasa pada hari Asyu Ra, maka beliau menanyakan hal itu
kepada mereka. Mereka pun menjawab, “Ini adalah hari yang Fir’aun
ditenggelamkan dan Musa diselamatkan oleh Allah. Maka kami berpuasa
padanya sebagai ungkapan syukur kepada Allah Swt”
Ibnu Hajar berkata, “Jadi, diambil faidah yang
terkandung di dalam hadits ini yaitu melaksanakan syukur kepada Allah
Swt atas anugerah yang Dia berikan pada hari tertentu, pemberian nikmat
atau pencegahan dari bencana. Dan, kegiatan itu diulangi pada hari yang
sama setiap tahun. Kegiatan syukur itu tercapai dengan berbagai bentuk
ibadah seperti sujud (shalat), puasa, sedekah, dan membaca Al Quran.
Dan, nikmat manakah yang lebih hesar daripada nikmat munculnya Nabi Saw
ini, Nabi rahmat, pada hari itu?”
Al-Hafizh Ibnu Hajar menegaskan bentuk-bentuk
kegiatan di dalam perayaan tersebut dan berkata, “Maka semestinya kita
batasi bentuk-bentuk kegiatan itu pada hal-hal yang dipahami sebagai
ungkapan syukur kepada Allah Swt seperti yang telah disebutkan: membaca
Al Quran, memberi makan, melantunkan puisi-puisi pujian bagi Nabi Saw
dan puisi-puisi yang menggerakkan hati untuk melakukan kebajikan dan
amal akhirat. Perkara-perkara mubah yang mengandung nilai suka cita dan
kegembiraan terhadap hari kelahiran itu tidak mengapa untuk disertakan
dengannya.”
Imam Suyuthi mengutip penjelasan Imam
tokoh-tokoh qira’at, Al-Hafizh Syamsuddin Ibnu Jauzi dari kitabnya ‘Urf
Al-Ta’rif bi Al-Maulid Al-Syarif ‘, “Jelas disebutkan dalam hadits
shahih bahwa Abu Lahab mendapatkan keringanan dari siksa neraka pada
setiap malam Senin karena ia memerdekakan Tsuwaibah setelah mendengarkan
berita gembira kelahiran Nabi Saw yang disampaikannya. Jika Abu Lahab
yang kafir dan dicela dengan nyata di dalam Al Quran mendapatkan
keringanan di dalam neraka karena suka cita dan kegembiraannya pada
malam kelahiran Nabi Saw, maka bagaimana lagi dengan seorang muslim dan
bertauhid dari umat Nabi Saw yang bergembira dengan kelahiran beliau dan
berusaha sekuat tenaga yang ia mampu untuk mencintainya? sungguh
balasannya dari Allah Swt adalah Dia memasukkannya ke dalam surga yang
penuh kenikmatan dengan karunia-Nya.”
Selain dasar-dasar hukum dan argumentasi yang
disebutkan, bisa juga berdalil dengan umumnya firman Allah Swt : “…dan
ingatkanlah mereka kepada hari-hari Allah,” (QS. Ibrahim : 5)
Tidak ragu lagi bahwa kelahiran Nabi Saw
termasuk hari-hari Allah, sehingga memperingatinya berarti melaksanakan
perintah Allah. Perkara yang demikian bukanlah bid’ah, tetapi merupakan
sunnah hasanah (tradisi baik), sekalipun tidak pernah ada pada masa
Rasulullah Saw
Kita merayakan kelahiran Nabi Muhammad Saw
karena kita mencintainya. Dan bagaimana kita tidak mencintainya,
sedangkan seluruh alam semesta mengenal dan mencintainya. Ingatlah
hadits tentang sebatang pohon karma yang tak bernyawa, betapa ia
menyayangi dan mencintai Nabi Saw serta rindu untuk selalu dekat dengan
Nabi Saw yang mulia, bahkan menangis sejadi-jadinya karena rindu kepada
Nabi Saw
0 komentar:
Posting Komentar