Allah SWT berfirman (yang artinya): …Di bawahnya ada harta simpanan bagi mereka berdua, sementara ayahnya adalah seorang yang shalih (TQS al-Kahfi [18]: 82).
Dalam
sebuah riwayat, saat menafsirkan ayat di atas, Utsman bin Affan
berkata, bahwa harta simpanan yang dimaksud adalah sebuah lempengan
yang terbuat dari emas, yang tertulis padanya (firman Allah SWT): Aku
heran terhadap orang yang memahami kematian, sementara ia banyak
tertawa. Aku heran terhadap orang yang memahami bahwa dunia ini fana,
sementara ia terus disibukkan oleh dunia itu. Aku heran terhadap orang
yang memahami bahwa berbagai perkara telah ditetapkan sesuai takdir-Nya,
sementara ia bersedih atas hilangnya perkara-perkara itu. Aku heran
terhadap orang yang mengetahui adanya Hari Perhitungan, sementara ia
terus mengumpul-ngumpulkan harta. Aku heran terhadap orang yang
mengetahui adanya api neraka, sementara ia terus berbuat dosa. Aku heran
terhadap orang yang mengetahui adanya surga, sementara ia malah banyak
berleha-leha. Aku heran terhadap orang yang memahami bahwa setan itu
musuhnya, sementara ia malah selalu menaatinya (An-Nawawi al-Jawi, Nasha’ih al-‘Ibad, 51).
Riwayat
senada dituturkan oleh al-Baihaqi dari Ali bin Abi Thalib, dari Baginda
Rasulullah SAW, bahwa harta simpanan yang dimaksud dalam ayat di atas
adalah lempengan emas yang tertulis padanya (firman Allah SWT): Tidak
ada tuhan kecuali Allah dan Nabi Muhammad adalah utusan-Nya. Sungguh
aneh orang yang memahami kematian itu pasti, lalu bagaimana mungkin ia
banyak berleha-leha. Sungguh aneh orang yang memahami bahwa neraka itu
benar adanya, tetapi bagaimana mungkin dia banyak tertawa. Sungguh aneh
orang yang memahami bahwa takdir (qadha’) itu adalah benar, lalu
bagaimana mungkin dia banyak bersedih. Sungguh aneh orang yang melihat
dunia dari waktu ke waktu (bahwa dunia itu fana), lalu bagaimana ia
merasa tenteram dengan dunia itu (Al-Baihaqi dalam Syu’ab al-Iman).
Penuturan
senada juga diriwayatkan oleh Abu Hatim, Ibn al-Mardawaih dan al-Bazzar
dari Abu Dzarr al-Ghifari; juga oleh al-Khara’ithi dan Ibn ‘Asakir dari
Ibn ‘Abbas ra (Lihat: as-Suyuthi, Ad-Durr al-Mantsur, VI/388)
Ada beberapa ibrah (pelajaran) dari hadits di atas. Pertama:
hadits di atas menegaskan bahwa banyak manusia yang perilakunya sering
tidak sesuai dengan pemahamannya. Inilah di antara ciri orang-orang yang
berlaku nifaq. Kedua:
boleh jadi ketidaksesuaian perilaku manusia dengan pemahamannya karena
ia termasuk orang-orang yang lalai atau terlalaikan. Inilah antara lain
ciri dari orang-orang yang disebutkan oleh Allah SWT dalam Alquran
sebagai al-ghafil[un].
Terkait
dengan itu, setiap Muslim, misalnya, pasti meyakini kepastian bakal
datangnya kematian. Namun, banyak dari mereka seolah tidak mempersiapkan
bekal untuk menghadapi kematian itu, yakni saat ia menghadap kepada
Allah SWT. Di sinilah pentingnya kita bukan hanya memahami kematian itu,
tetapi juga sering-sering mengingat mati. Sebab, orang yang banyak
mengingat mati biasanya akan banyak mempersiapkan bekal untuk menghadapi
kematian itu. Nabi SAW bersabda, ”Orang
yang cerdas adalah orang yang paling banyak mengingat mati dan yang
paling banyak mempersiapkan diri (menghadapi kematian itu).”(Harits bin Abi Usamah, II/998).
Lalu
terkait dengan dunia (harta), meski setiap Muslim memahami bahwa dunia
dan harta itu fana, banyak di antara mereka justru menghabiskan sebagian
besar waktunya untuk mengejar dunia (harta) hingga melupakan Allah SWT.
Padahal sudah jelas, meski seseorang hartanya banyak, semua itu tak
akan pernah ia bawa saat ia masuk ke liang lahat.
Kemudian tentang takdir ataupun qadha’ juga
sudah jelas. Semua ketetapan Allah SWT ini mesti diyakini oleh setiap
Muslim. Seorang Muslim, misalnya, harus menyadari, bahwa apa yang memang
sudah ditakdirkan Allah SWT sebagai rezekinya, pasti akan ia raih. Ia
pun mesti memahami, bahwa musibah yang telah ditakdirkan Allah SWT
menimpa dirinya pasti tak akan pernah dapat ia tolak. Karena itu, memang
tak selayaknya ia larut dalam penyesalan dan kesedihan saat ditimpa
suatu musibah.
Lalu
terkait setan, hal itu juga sudah jelas. Bagi seorang Muslim, setan
adalah musuhnya yang sejati dan abadi. Dalam Alquran Allah SWT bahkan
menyebut setan itu sebagai ’aduw[un] mubin bagi
manusia. Karena musuh, idealnya setan harus ditentang, dilawan dan
bahkan diperangi. Karena itu, memang aneh jika seorang Muslim malah
banyak menaati ajakan setan dan tertipu dengan bujuk-rayunya.
Selanjutnya,
terkait dengan surga dan neraka, itu pun sudah jelas. Surga adalah
balasan bagi para pelaku ketaatan. Neraka diperuntukkan bagi pelaku
kemaksiatan. Yang belum jelas adalah wujud fisik surga dan neraka
tersebut karena keduanya bagian dari perkara gaib. Karena tidak tampak
secara fisik inilah kebanyakan manusia seolah tak peduli. Akibatnya,
mereka banyak melakukan dosa, padahal katanya mereka takut terhadap azab
neraka. Sebaliknya, mereka tidak banyak melakukan ketaatan, padahal
katanya surgalah yang mereka rindukan. Memang aneh! Semoga kita tidak
demikian. Wama tawfiqi illa billah. [] abi
|
Orang-orang " Aneh "
Written By radjie ahmad on Selasa, 27 Maret 2012 | 17.02
Label: foto
Nasehat,
Pendidikan,
Pengetahuan Islam,
Renungan
2 komentar:
Buzzz Buzzz Buzzz
lam kenal
nice posting, mantap
Salam Madu Juga Sengat
lam kenal juga,,thanks cuma copas ko,,^_^
Posting Komentar