Kalam Habib Ahmad bin Zein al-Habsyi
Qana’ah adalah suatu sikap merasa cukup dengan pembagian
rizki yang diberikan Allah, dan menyandarkan kebutuhan hanya kepada
Allah SWT. Seorang yang qana’ah akan memohon hanya kepada-Nya, tidak
kepada yang lain. Habib Abdullah bin Alwi al-Haddad bersyair:
Andai dirimu ridha dengan bagian yang dijatahkan kepadamu, niscaya dirimu hidup penuh kenikmatan.
Namun bila dirimu tiada pernah ridha, maka dirimu senantiasa dalam kegundahan.
Qana’ah adalah awal dari sikap ridha. Setiap orang yang memiliki
sikap qana’ah pasti mendapatkan bagian dari ridha. Sikap qana’ah akan
tumbuh bila seseorang cermat dalam berinfak serta tidak berfoya-foya.
Dalam sebuah hadits disebutkan, “Orang yang cermat berbelanja akan
dicukupkan kebutuhannya oleh Allah SWT, sedangkan orang yang mubazir
akan difakirkan oleh Allah SWT.”
Seseorang akan memiliki sikap qana’ah bila ia benar-benar pasrah pada
pembagian Allah SWT. Dalam Al-Qur’anul Karim, Allah SWT berfirman:
وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي الْأَرْضِ إِلَّا عَلَى اللَّهِ رِزْقُهَا وَيَعْلَمُ مُسْتَقَرَّهَا وَمُسْتَوْدَعَهَا كُلٌّ فِي كِتَابٍ مُبِينٍ
“Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan
Allah-lah yang memberi rezkinya, dan dia mengetahui tempat berdiam
binatang itu dan tempat penyimpanannya. semuanya tertulis dalam Kitab
yang nyata (Lauh mahfuzh).” (QS;Hud ayat 6)
Sikap pasrah semacam ini adalah ilmu, cermat berinfak adalah amal.
Sementara itu, pondasi qana’ah adalah kesabaran, pendek angan, memahami
bahaya kekayaan dan keutamaan qana’ah. Dalam syair yang lain, Habib
Abdullah bin Alwi al-Haddad berpesan:
Sungguh, qana’ah adalah harta yang takkan pernah punah.
Terapkanlah saudaraku, moga engkau beroleh petunjuk. Hidup dengan qana’ah itu asyik.
Hiduplah dengan qana’ah tanpa rasa rakus dan tamak.
Engkau akan mulia, berwibawa dan bermartabat luhur.
Maka jelaslah bahwa qana’ah adalah perilaku menepis rasa rakus dan
tamak pada dunia. Ada pun pendek amal adalah kesadaran hati akan begitu
dekatnya mati dan segeranya masa peralihan dari kehidupan dunia menuju
kehidupan akhirat. Habib Abdullah bin Alwi al-Haddad telah mengulas
permasalahan ini dengan begitu panjang di dalam karyanya, An-Nashaihud Diniyah, begitu pula Imam Ghazali di dalam kitabnya, Minhajul Abidin.
Suatu kali Baginda Rasul SAW ditanya mengenai siapa manusia yang paling pandai dan paling mulia. Beliau menjawab, “Yang
paling sering mengingat mati dan yang paling semangat mempersiapkan
diri untuk mati. Merekalah manusia yang pandai. Mereka melenggang dengan
kemuliaan dunia dan akhirat.” Seorang sufi bernama Rabi’ bin Khaitsam pernah berkata, “Andai ingat mati itu terpisah dari hatiku, niscaya hatiku bakal rusak.” Baginda Rasul SAW pernah bersabda, “Permulaan
umat ini selamat berkat sikap yakin dan zuhud, sementara akhir umat ini
hancur dikarenakan sikap bakhil dan panjang angan.” Beliau pernah berdoa, “Aku berlindung kepada-Mu dari angan-angan yang bisa menghalangi amal yang baik.”
Sesungguhnya angan-angan yang dicela itu adalah angan-angan yang bisa
menghambat perbuatan baik. Tidak semua angan-angan tercela. Imam
Abdullah bin Alwi al-Haddad menerangkannya dengan detail dalam kitab
Nashaihud Diniyah. Angan-angan yang tercela muncul karena kebodohan,
cinta dunia dan terlena dengan syahwat-syahwatnya. Penawar kebodohan
semisal itu adalah perenungan yang sungguh-sungguh akan arti kematian.
Manusia memang harus pandai merenungi kematian. Baginda Nabi SAW
bersabda, “Cintailah orang yang kamu cintai, tapi ingatlah bahwa kamu bakal berpisah dengannya!”
Baitul Makmur
Cinta dunia bisa diobati dengan pengukuhan iman kepada Allah SWT dan
hari akhir, serta kesadaran bahwa dunia itu fana, hina dan penuh
kebencian. Tanda orang yang memiliki pendek amal adalah semangatnya yang
tinggi untuk beramal ibadah dan senantiasa siap menyongsong kematian.
Resapilah satu sabda Nabi SAW berikut ini, “Manfaatkanlah lima
keadaan sebelum datangnya lima keadaan yang lain: masa mudamu sebelum
tuamu; sehatmu sebelum sakitmu; kecukupanmu sebelum fakirmu; waktu
luangmu sebelum kesibukanmu; hidupmu sebelum matimu.”
Malik bin Dinar kerap berbisik kepada dirinya sendiri, “Bergegaslah, sebelum perkara itu (maut) tiba!” Ia mengulang perkataan itu enam puluh kali dalam sehari. Ketika memberikan nasehat, ia seringkali berkata, “Segeralah! Segeralah! Bila nafasmu telah tertahan, maka segala amal kebajikan akan terputus darimu.” Ia kemudian membaca sepotong ayat yang berbunyi:
إِنَّمَا نَعُدُّ لَهُمْ عَدًّا
“Karena sesungguhnya kami hanya menghitung datangnya (hari siksaan) untuk mereka dengan perhitungan yang teliti.”
Nafas ialah saat-saat yang lembut yang akan selalu mengiringi manusia
sepanjang hidupnya. Sebagian kaum arifin menyebutkan bahwa di setiap
satu jam manusia menarik nafas seribu kali. Jadi dalam sehari semalam ia
lazim menarik dua puluh empat ribu nafas. Sebagian yang lain
mengungkapkan bahwa dalam sehari terbesit tujuh puluh ribu lintasan hati
di dalam sanubari, jumlah yang sama dengan banyaknya malaikat yang
memasuki baitul makmur yang tak akan keluar lagi. Tidak diragukan lagi,
hati kita adalah baitul makmur, rumah yang dimakmurkan, dengan kebaikan
atau dengan keburukan.
Di antara orang-orang yang telah mencapai makrifat itu senantiasa
berzikir sebanyak hitungan nafasnya setiap hari, yakni dua puluh empat
ribu kali. Faedah ini telah aku terapkan. Meski hitungan nafas
masing-masing orang tidak sama, namun kita tahu bahwa akhir hitungan itu
adalah berhentinya nafas, terpisahnya keluarga dan masuknya jasad ke
dalam kubur.
Nasehat Habib Ahmad bin Zein al-Habsyi di atas disampaikan beratus
tahun silam, namun tetap sangat mengena dengan situasi umat Islam
sekarang ini. Umat Islam di era ini telah benar-benar larut ke dalam
kecintaan kepada dunia. Cinta mereka begitu menggebu-gebu hingga tiada
lagi yang tersisa di dalam benak mereka selain ambisi untuk menumpuk
kekayaan, kehormatan, dan kenikmatan-kenikmatan sesaat. Mereka tak lagi
mengingat kematian, sesuatu yang pasti memupuskan dunia dan mengantarkan
mereka menuju kehidupan yang hakiki. Di manakah sikap qana’ah saat ini?
Siapakah gerangan yang masih kuat berpegang pada sikap itu di tengah
derasnya arus kehidupan materialistik yang mendera umat manusia…..?
0 komentar:
Posting Komentar