Posted by تان سليمان
GM,
Halaqoh Online,
Tafsir
1:21 PM
Tak
terasa, bulan Ramadhan telah melewati 10 terakhir kedua. Sebagaimana
tuntunan Rasulullah Saw., memasuki 10 hari Ramadhan terakhir, beliau
bersungguh-sungguh ibadah di malam 10 terakhir tersebut. Apalagi di
bulan mulia ini, Allah Swt. telah memberikan malam lailatul qadar (malam
kemuliaan) yang lebih baik dari 1000 bulan. Untuk itu perlu kiranya,
kaum Muslim meningkatkan ibadahnya di 10 hari terakhir Ramadhan ini.
Berikut penjelasan tentang meraih lailatul qadar. [Pengantar Redaksi]
إِنَّا
أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ، وَمَا أَدْرَاكَ مَا لَيْلَةُ
الْقَدْرِ، لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ، تَنَزَّلُ
الْمَلائِكَةُ وَالرُّوحُ فِيهَا بِإِذْنِ رَبِّهِمْ مِنْ كُلِّ أَمْرٍ،
سَلامٌ هِيَ حَتَّى مَطْلَعِ الْفَجْرِ
Sesungguhnya
Kami telah menurunkan al-Quran pada malam kemuliaan. Tahukah kamu
apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu
bulan. Pada malam itu turun para malaikat dan Malaikat Jibril dengan
izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. Malam itu (penuh)
kesejahteraan sampai terbit fajar (QS al-Qadr [97]: 1-5).
Dalam
mushaf, surat ini terletak pada urutan ke-97. Terdapat perbedaan
pendapat mengenai status surat yang terdiri dari 5 ayat ini. Ada yang
menyebutnya sebagai surat Makkiyyah, seperti Ibnu ‘Abbas, Ibnu Marduyah,
Ibnu al-Zubair dan ‘Aisyah.[1] Ada
juga menggolongkannya sebagai Madaniyyah. Di antaranya adalah
al-Waqidi. Bahkan menurut ats-Tsa’labi, sebagian besar mufassir
memasukkannya sebagai surat Madaniyyah. [2]
Tafsir Ayat
Allah SWT. berfirman: Innâ anzalnâhu fî laylah al-qadr(Sesungguhnya Kami telah menurunkan al-Quran pada malam kemuliaan). Dalam ayat ini digunakan frasa Innâ (Sesungguhnya Kami), bukan Innî (Sesungguhnya Aku). Dijelaskan Fakhruddin ar-Razi, kata tersebut tidak boleh dimaknai li al-jam’i (untuk
menunjukkan makna jamak). Sebab, hal itu mustahil ditujukan kepada
Allah, Zat Yang Maha Esa. Karena itu, kata tersebut harus dimaknai
sebagai li at-ta’zhîm (untuk mengagungkan).[3]
Huruf al-hâ’ (dhamîr al-ghâib, kata ganti pihak ketiga) dalam ayat ini, tidak memiliki al-ism azh-zháhir yang menjadi rujukannya. Meskipun demikian, para mufassir sepakat bahwa dhamîr tersebut menunjuk pada al-Quran.[4] Menurut al-Qurthubi, tidak disebutkan kata al-Quran karena maknanya sudah maklum.[5] Fakhruddin ar-Razi dan az-Zamakhsyari menjelaskan, ketiadaan al-ism azh-zhâhiritu menjadi salah satu aspek yang menunjukkan keagungan al-Quran.[6] Adapun al-Khaththabi dan Abu Hayyan al-Andalusi mengaitkannya dengan surat sebelumnya: iqra’ bi[i]smi Rabbika; sehingga seolah dikatakan: Bacalah apa yang Kami turunkan kepadamu berupa firman Kami, “Innâ anzalnâhu laylah al-qadr.”[7]
Dalam ayat ini diberitakan bahwa al-Quran diturunkan pada malamal-qadr.
Secara fakta, al-Quran turun kepada Rasulullah saw. secara bertahap
selama dua puluh tiga tahun; siang dan malam, dalam berbagai bulan dan
keadaan. Jika demikian, apa makna al-Quran diturunkan pada suatu malam
yang disebut sebagai malamal-qadr itu?
Setidaknya ada dua penjelasan. Pertama: turunnya al-Quran yang diberitakan dalam ayat ini adalah turunnya al-Quran secara sekaligus dari al-Lawh al-Mahfûzh ke Bayt al-‘Izzah di
langit dunia. Selanjutnya, al-Quran turun kepada Rasulullah saw. selama
23 tahun secara bertahap setiap saat. Penjelasan ini disampaikan Ibnu
‘Abbas; juga dipilih oleh beberapa mufassir seperti al-Alusi,
al-Baghawi, asy-Syaukani, as-Samarqandi, dan yang lainnya.[8]
Kedua: turunnya al-Quran pertama kali. Ini merupakan pendapat asy-Sya’bi dan yang lainnya.[9] Intinya, awal diturunkannya al-Quran dan diutusnya Rasulullah. saw terjadi pada malam al-qadritu. Peristiwa ini terjadi pada bulan Ramadhan (Lihat: QS al-Baqarah [2]: 185).
Mengapa malam itu disebut sebagai malam al-qadr? Menurut Ibnu ‘Abbas, Qatadah dan lain-lain, dinamakan al-qadr karena
di dalamnya terjadi penentuan ajal, rezeki dan berbagai kejadian di
dunia yang diberikan kepada malaikat untuk dikerjakan. Pendapat ini juga
dipilih az-Zamakhsyari, asy-Syaukani dan al-Baghawi karena dinilai
sejalan dengan QS ad-Dukhan [44]: 4.[10] Adapun az-Zuhri memaknai laylah al-qadr sebagai malam al-‘azhamah wa asy-syaraf (keagungan dan kemuliaan).[11] Pengertian
ini juga sejalan dengan ayat berikutnya yang menjelaskan bahwa malam
tersebut lebih baik dari seribu bulan. Ada juga yang memilih kedua
pendapat itu tanpa menafikan salah satunya, seperti al-Baidhawi,
as-Samarqandi, as-Sa’di dan al-Zuhaili.[12] Jika
diikuti penjelasan ayat-ayat sesudahnya, kedua pendapat itu sama-sama
memiliki pijakan yang kuat. Tidak harus dipilih salah satunya dan
menegasikan makna lainnya.
Kemudian Allah SWT berfirman: Wamâ adrâka mâ laylah al-qadr(Tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu?). Kalimat istifhâm ini memberikan makna tafkhîm sya’nihâ (memuliakan
urusannya); seolah-olah perkara tersebut keluar dari pengetahuan
makhluk; dan tidak ada yang mengetahuinya kecuali Allah SWT. Demikian
penjelasan asy-Syaukani.[13]Tidak jauh berbeda, as-Samarqandi juga menafsirkannya sebagai ta’zhîm[an] lahâ (mengagungkan, memuliakannya).[14]
Pertanyaan itu lalu dijelaskan dalam ayat berikutnya: Laylah al-qadr khayr min alfi syahr[in] (Malam
kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan). Menurut Abu Hayyan, seribu
bulan yang dimaksud adalah jumlah sebenarnya, yakni 83 tahun. Al-Hasan
mengatakan,“Beramal pada malam al-qadr itu lebih utama daripada beramal pada bulan-bulan itu.”[15] Menurut Anas, amal, sedekah, shalat dan zakat pada Lailatul Qadar lebih baik daripada seribu bulan.[16]Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Mujahid, Amru bin Qays al-Malai, Ibnu Jarir, Ibnu Katsir dan as-Samarqandi.[17]Bahkan
menurut as-Syaukani, kesimpulan tersebut (beramal di malam itu lebih
baik daripada seribu bulan, selain yang di dalamnya terdapat malam al-qadr) merupakan pendapat sebagian besar mufassirin.[18] Mengenai keutamaan beramal pada malam tersebut juga ditegaskan Rasulullah saw. dalam sabdanya:
مَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِBarangsiapa melaksanakan shalat pada Lailatul Qadar karena iman dan mengharap pahala dari Allah, maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni (HR al-Bukhir, Muslim, Abu Dawud, an-Nasa’i dan Ahmad).
Kemudian Allah SWT menjelaskan keutamaan lain Malam al-Qadrdengan firman-Nya: Tanazzalu al-malâikah wa al-Rûh fîhâ bi idzni Rabbihim min kulli amr[in] (Pada
malam itu turun para malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya
untuk mengatur segala urusan). Pada malam itu, para malaikat turun dari
langit ke bumi, termasuk ar-Rûh. Menurut jumhûr al-mufassirîn, yang dimaksudar-Rûh di sini adalah Jibril.[20] Biasanya, itu berguna untuk menunjukkan kemuliaan dan keagungannya atas yang lain (Lihat, misalnya, QS al-Baqarah [2]: 98).
Menurut
Ibnu Katsir, banyaknya malaikat yang turun karena banyaknya berkah.
Malaikat turun dengan membawa berkah dan rahmat sebagaimana mereka turun
ketika ada tilawah al-Quran; mereka mencari majelis zikir dan
meletakkan sayapnya mengitari orang-orang yang mencari ilmu untuk
memuliakannya.[21]
Dipaparkan ar-Razi, penyebutan bi idzni Rabbihim memberikan isyarat bahwa para malaikat itu tidak bertindak apa pun selain dengan izin-Nya. Adapun kata Rabbihim berguna sebagaita’zhîm[an] li al-malâikah wa tahqîr[an] li al-‘ashâh (untuk memuliakan malaikat dan melecehkan pelaku maksiat).[22]Menurut Qatadah dan lainnya, frasa bi idzni Rabbihim min kulli amr[in] (dengan
izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan), memberikan pengertian
bahwa pada malam itu diputuskan berbagai urusan; ditetapkan ajal dan
rezeki. Ini sejalan dengan QS al-Dukhan (44) ayat 4.[23]
Allah SWT pun menutup ayat ini dengan firman-Nya: Salâm[un] hiya hattâ mathla’ al-fajr (Malam itu [penuh] kesejahteraan sampai terbit fajar). Dijelaskan Mujahid, bahwa keselamatan itu berarti sâlimah (selamat); setan tidak mampu berbuat kejahatan atau melakukan perbuatan yang mencelakakan.[24] Qatadah menyatakan bahwa frasa tersebut berarti kebaikan semua, tidak ada di dalamnya keburukan hingga terbit fajar.[25] Menurut
asy-Sya’bi, saat memberikan keselamatan kepada penghuni masjid mulai
dari terbenamnya matahari hingga terbitnya fajar, malaikat melewati
setiap Mukmin dan berkata, “As-Salâmu ‘alayka ayyuhâ al-Mu’min” (Semoga keselamatan atas kalian, wahai Mukmin).[26]
Keagungan al-Quran dan Lailatul Qadar
Surat
ini memberitakan peristiwa turunnya al-Quran, kitab yang diturunkan
kepada nabi terakhir; berisi penjelasan segala sesuatu, petunjuk serta
rahmat, dan kabar gembira bagi Muslim (lihat QS al-Nahl [16]: 89). Dalam
surat ini, pengagungan al-Quran tampak pada beberapa hal. Pertama: keagungan dan kemasyhuran al-Quran. Kendati tidak disebutkan secara zhâhir, tidak ada perbedaan bahwa dhamîr al-ghâib ini
merujuk pada al-Quran. Sebagaimana telah dipaparkan, itu menunjukkan
keagungan dan kemasyhuran al-Quran. Karena itu, meski tanpa disebutkan
secarazhâhir, maknanya sudah sangat jelas.
Kedua:
keagungan Zat yang menurunkannya. Disebutkan dalam surat ini bahwa yang
menurunkan al-Quran adalah Allah SWT. Sebagai kitab yang berasal dari
Zat Yang Mahabenar dan Mahaadil, kitab yang diturunkan-Nya pun
demikian, shidqa[an] wa ad-la[a] (benar dan adil, lihat QS al-An’am [6]: 115). Digunakannya frasa innâ yang menunjuk kepada Allah kian menambah kemuliaan al-Quran. Sebab, frasa innâ memberikan makna li al-ta’zhîm (untuk memuliakan, mengagungkan) terhadap Zat yang menurunkan-Nya.
Ketiga:
keistimewaan waktu turunnya. Diberitakan dalam ayat ini bahwa turunnya
al-Quran dipilih pada waktu yang amat mulia, yakni pada laylah al-qadr,
sebuah malam yang penuh berkah (lihat QS al-Dukhan [44]: 3), yang lebih
baik dari seribu bulan. Pada malam itu, para malaikat, termasuk Jibril,
turun ke bumi. Ini menunjukkan betapa mulia dan pentingnya malam
tersebut. Sebab, para malaikat itu tidak turun kecuali ada perkara yang
besar. Rasulullah saw bersabda tentang laylah al-qadr:
إِنَّهَا لَيْلَةُ سَابِعَةٍ أَوْ تَاسِعَةٍ وَعِشْرِينَ إنَّ الْمَلاَئِكَةَ تِلْكَ اللَّيْلَةَ فِى الأَرْضِ أَكْثَرُ مِن عَدَدِ الْحَصَىSesungguhnya laylah al-qadr itu adalah malam kedua puluh tujuh atau kedua puluh sembilan. Sesungguhnya para malaikat pada malam itu di bumi lebih banyak daripada jumlah kerikil (HR Ahmad dari Abu Hurairah).
Ditegaskan
pula, pada malam itu penuh kesejahteraan hingga terbit fajar. Berita
tersebut seharusnya membuat manusia kian memuliakan dan mengagungkan
kitab Allah SWT itu; juga benar-benar berupaya mencari dan mengisi
Lailatul Qadar dengan amal shalih. Rasulullah saw. bersabda:
تَحَرَّوْا لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِى الْوِتْرِ مِنَ الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَCarilah Lailatul Qadar itu pada malam-malam ganjil dari sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan (HR al-Bukhari).
Pada
hari-hari itu, Rasulullah saw. juga senantiasa bersungguh-sungguh dalam
ibadah, melebihi dua puluh malam pertama. Aisyah ra. berkata:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَجْتَهِدُ فِى الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مَا لاَ يَجْتَهِدُ فِى غَيْرِهِ.Rasulullah saw. bersungguh-sungguh dalam beribadah pada sepuluh malam terakhir di bulan Ramadhan, hal yang tidak beliau lakukan pada malam yang lainnya (HR Muslim, at-Tirmidzi dan Ahmad).
Pada
malam itu, disunnahkan bagi seorang Muslim untuk memperbanyak membaca
al-Quran dan membaca doa. Sebab, doa pada waktu-waktu tersebut mustajab.
Doa yang terus dibaca adalah doa yang diriwayatkan oleh Aisyah ra. yang
berkata, “Wahai Rasulullah, bagaimana jika saya mendapatkan Lailatul
Qadar, apa yang aku katakan?” Beliau bersabda:
تَقُولِينَ : اللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ تُحِبُّ الْعَفْوَ ، فَاعْفُ عَنِّيKamu berkata, “Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Pengampum, mencintai ampunan. Karena itu, ampunilah aku.” (HR at-Tirmidzi dan Ibnu Majah).
Mengingat besarnya keutamaan Lailatul Qadar, sudah
sepatutnya kaum Muslim berusaha keras untuk mengisi malam-malam akhir
pada bulan Ramadhan dengan berbagai ibadah dan amal shalih, termasuk
berdakwah dan berjuang demi tegaknya hukum dalam Kitab dan as-Sunnah.
Harus diingat, kesempatan itu tidak selalu ada. Jika kini kita masih
berjumpa dengan Ramadhan, belum tentu tahun depan. Betapa beruntung kita
jika mendapatkan sebuah malam yang lebih mulia dari seribu bulan atau
delapan puluh tiga tahun lebih. Karunia apa lagi yang lebih besar dari
itu?
Wal-Lâh a’lam bi al-shawâb. []
Catatan kaki:
1 As-Suyuthi, Ad-Durr al-Mantsûr, XV/533 (Kairo: Maktabah Hijr, 2003). Namun, menurut Ibnu ‘Athiyah, Al-Muharrar al-Wajîz, V/504 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2001), Ibnu ‘Abbas memasukkannya ke dalam Madaniyyah.
2 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, XX/129 (Kairo: Dar al-Kutub al-Mishriyyah, 1964); Abu Hayyan al-Andalusi, Al-Bahr al-Muhîth, VIII/492 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1993); asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, V/633 (tt: Dar al-Wafa’, tt).
3 Ar-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, XXXII/27 (Beirut: Dar al-Fikr, 1981).
4 Ar-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, XXXII/27; al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, XX/129; Abu Hayyan al-Andalusi, Al-Bahr al-Muhîth, VIII/492; Ibnu ‘Athiyah, Al-Muharrar al-Wajîz, V/504; al-Baidhawi, Anwár at-Tanzîl wa Asrár at-Ta’wîl, V/327 (Beirut: Dar Ihyâ’ at-Turats, tt); Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm,VIII/441 (Riyad: Dar Thayyibah, 1999); al-Baghawi, Ma’âlim at-Tanzîl, V/383 (Beirut: Dar Ihya’ Ihya’ Turats al-‘Arabi, 1990); asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, V/633.
5 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, XX/129.
6 Az-Zamakhsyari, Al-Kasysyâf, VII/407 (Riyad: Maktabah Abikan, 1998).
7 Abu Hayyan al-Andalusi, Al-Bahr al-Muhîth, VIII/492; al-Alusi,Rûh al-Ma’ânî, XV/411 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995).
8 Al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, XV/412; Abu Hayyan al-Andalusi, Al-Bahr al-Muhîth, VIII/492; Ibnu ‘Athiyah, Al-Muharrar al-Wajîz, V/504; al-Baghawi, Ma’âlim at-Tanzîl, V/383; asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, V/633; as-Samarqandi, Bahr al-‘Ulûm, III/496 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1993).
9 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, XX/129; Abu Hayyan al-Andalusi, Al-Bahr al-Muhîth, VIII/492; az-Zamakhsyari, Al-Kasysyâf, VII/407
10 Az-Zamakhsyari, Al-Kasysyâf, VII/407; al-Baghawi, Ma’âlim at-Tanzîl, V/383; asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, V/633.
11 Al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, XV/415; Abu Hayyan al-Andalusi, Al-Bahr al-Muhîth, VIII/492.
12 Al-Baidhawi, Anwár at-Tanzîl wa Asrár at-Ta’wîl, V/327; as-Samarqandi, Bahr al-‘Ulûm, III/496; as-Sa’di, Taysîr al-Karîm ar-Rahmân (tt: Mu’assasah al-Risalah, 2000), 931; az-Zuhaili, At-Tafsîr al-Munîr, XXX/332 (Beirut: Dar al-Fikr, 1998).
13 Asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, V/633.
14 As-Samarqandi, Bahr al-‘Ulûm, III/496.
15 Abu Hayyan al-Andalusi, Al-Bahr al-Muhîth, VIII/493.
16 As-Suyuthi, Ad-Durr al-Mantsûr, XV/534.
17 Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, XXXIV/534 (Madinah: Muassasah al-Risalah, 200); Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, VIII/444; as-Samarqandi, Bahr al-‘Ulûm, III/496.
18 Asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, V/633.
19 Al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, XV/417; asy-Syaukani, Fath al-Qadîr,V/634. Pendapat tersebut juga dipilih ar-Razi, Mafâtîh al-Ghayb,vol. 34; as-Suyuthi, al-Durr al-Mantsûr, XV/538; az-Zamakhsyari,Al-Kasysyâf, VII/408; Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm,VIII/444.
20 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, VIII/443.
21 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, VIII/444.
22 Ar-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, XXXII/35.
23 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, VIII/444.
24 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, VIII/444.
25 Asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, V/634; Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, VIII/444.
26 Asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, V/634; Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, VIII/444.
Sumber: Majalah Al-Waie
0 komentar:
Posting Komentar